Adapun dalam kaifiyahnya (tata caranya di luar shalat), para ulama berbeda pendapat, sebagian mereka berpendapat tidak perlu takbiratul ihram dan salam. Adapun ulama madzhab syafi'i berpendapat bahwa orang yang membaca ayat sajadah di luar shalat jika ia ingin sujud tilawah, maka yang dilakukan adalah berdiri kemudian dia niat sujud tilawah Apakahkamu lagi mencari jawaban dari pertanyaan Takbiratul ihram dalam sujud tilawah termasuk?. Berikut pilihan jawabannya: Rukun; Syarat; Sunnah; Wajib; Kunci Jawabannya adalah: A. Rukun. Dilansir dari Ensiklopedia, Takbiratul ihram dalam sujud tilawah termasuktakbiratul ihram dalam sujud tilawah termasuk Rukun. Dilansirdari Encyclopedia Britannica, takbiratul ihram dalam sujud tilawah termasuk rukun. Facebook Twitter LinkedIn Tumblr Pinterest Reddit VKontakte Share via Email Print. Leave a Reply Cancel reply. Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment * Name * Denganitu sujud merupakan sesuatu yang sangat mulia di hadapan Allah. Seorang hamba yang bersujud selalu merasa dekat bersama Allah, karna dalam sujud seluruh anggota badan menunduk ke bawah. Ini membuktikan bahwa diri ini sangat lemah. "Waktu yang paling dekat antara seorang hamba dengan Allah, yaitu ketika sedang bersujud'. . loading...Perkara-perkara yang membatalkan sholat wajib dipelajari setiap muslim agar ibadah sholat tidak menjadi sia-sia. Foto ilustrasi/ist Perkara yang membatalkan sholat wajib diketahui setiap muslim. Hal ini penting dipelajari agar sholat kita benar-benar diterima di sisi Allah. Dalam Hadis disebutkan, sholat merupakan amal ibadah yang pertama yang kali dihisab oleh Allah pada hari Kiamat. Jika sholatnya baik maka baiklah seluruh amalannya. Apabila sholatnya buruk maka buruk pula amalan lainnya. Berikut 12 perkara yang membatalkan sholat dijelaskan dalam Kitab Sulam Al-Munajat karya Syaikh Nawawi Al-Bantani. 1. Hilangnya Salah Satu dari 12 Syarat Sholat Hilangnya salah satu dari 12 syarat shalat, baik sengaja meskipun dipaksa, lupa atau tidak tahu. Sebab masalah ini termasuk Khithab Wad'i, yaitu firman Allah yang berkaitan dengan menjadikan sesuatu sebagai sebab atau syarat atau penghalang atau sah atau tidak Hilangnya Salah Satu dari 19 Rukun Sholat Hilangnya salah satu dari 19 rukun shalat dengan sengaja. Sebab apabila salah satu rukunnya tidak ada, maka tidak disebut shalat. Bila lupa, maka harus segera dilakukan bila ingat. Bila tidak dilakukan, maka harus memulai shalat dari muka. Sesuatu yang dilakukan setelah rukun yang dilupakan tidak diperhitungkan karena terjadi di selain tempatnya, kecuali setelah rukun yang dilupakan itu. Bila rukun tersebut dia lakukan, maka dia meneruskan sholatnya. Bila dia yakin bahwa dia belum melakukan satu sujud dari rakaat terakhir, pada akhir shalatnya atau setelah salamnya dan sebelum terkena najis yang tidak ma'fu dan belum lama, maka dia harus melakukan sujud itu dan mengulangi tasyahhudnya. Bila sujud yang dilupakan dari selain rakaat terakhir, maka dia harus melakukan satu Menambahkan Rukun Fi'liyahPerkara yang membatalkan sholat selanjutnya yaitu menambahkan rukun fi'liyah. Misalnya menambahkan Ruku' atau sujud, meskipun tanpa thumakninah atau menambahkan rakaat. Atau mendatangkan niat atau takbiratul ihram di tengah-tengah shalat atau melakukan salam pada selain tempatnya, padahal dia tahu kalau hal itu dilarang. Hal tersebut membatalkan shalat bagi orang yang sengaja karena dia dianggap bermain-main. Sedangkan orang yang lupa dan orang yang tidak tahu larangan karena baru saja masuk Islam atau dia hidup di hutan yang jauh dari ulama, shalatnya tidak batal. Demikian juga apabila makmum menambah rukun karena mengikuti imamnya. Apabila menambahkan rukun dilakukan karena lupa atau seseorang menambahkan selain rukun tersebut yakni rukun fi'li selain takbiratul ihram baik dengan sengaja atau lupa, maka shalatnya tidak batal menurut pendapat yang ashah. Contohnya mengulangi Surat Al-Fatihah dan mengulangi Tasyahhud tanpa alasan. Namun dia sunnah melakukan sujud sahwi jika melakukan sesuatu yang bila disengaja membatalkan Melakukan Gerakan Sekali Dengan Keras Atau 3 Kali BerturutMelakukan gerakan sekali namun keras misalnya satu lompatan keras dan satu pukulan keras. Atau gerakannya tidak keras, namun bertujuan main-main. Misalnya lompatan yang tidak keras dan tepuk tangan, meskipun tidak dengan memukulkan dua telapak tangan. Atau melakukan gerakan tiga kali yang berturut-turut meskipun dengan beberapa anggota badan apabila mandiri, baik sengaja, lupa atau karena tidak tahu namun tidak dimaafkan. Hal tersebut membatalkan, sebab memutuskan urutan shalat dan memberi kesan berpaling dari Makan Atau Minum Meskipun SedikitPerkara kelima yang membatalkan sholat adalah makan sedikit atau minum sedikit dengan sengaja meski dipaksa. Baik dengan mengunyah atau tanpa mengunyah, meskipun biasanya benda itu tidak dimakan, misalnya debu. Contohnya minum sedikit adalah cairan gula dan ludah yang bercampur dengan lainnya. Apabila seseorang makan minum karena lupa bahwa dia sedang shalat atau tidak tahu haramnya makan minum dan dia baru saja masuk Islam atau hidup jauh dari ulama, maka sholatnya tidak batal karena makanan minuman yang sedikit menurut adat. Dan batal shalatnya bila makanan minuman itu banyak, sebab makanan minuman yang banyak memutuskan urutan shalat, meskipun tidak membatalkan puasa bila lupa. Perbedaan antara shalat dan puasa adalah gaya shalat itu dapat mengingatkan orang yang lupa, sedangkan puasa tidak demikian. Di samping itu, shalat mempunyai beberapa perbuatan yang tertata, sedangkan perbuatan yang banyak memutuskannya. Lain halnya puasa, di mana perbuatan banyak tidak berpengaruh Melakukan Sesuatu yang Membatalkan Orang Puasa Selain Makan MinumPerkara berikutnya adalah melakukan sesuatu yang membatalkan orang puasa selain makan minum. Yakni ada benda masuk ke dalam rongganya, misalnya dia memasukkan kayu ke dalam lobang Memutuskan NiatPerkara berikutnya memutuskan niat. Misalnya berniat keluar dari shalat, baik seketika atau setelah satu rakaat misalnya. Lain halnya berniat melakukan hal yang membatalkan shalat, maka shalat tidak batal, kecuali bila dilakukan. Orang puasa bila berniat keluar dari puasanya, puasanya tidak batal menurut pendapat yang rajih. Demikian juga orang yang berwudhu, bila dia berniat keluar dari wudhunya, maka wudhunya tidak batal. Namun sisanya membutuhkan niat. Perbedaannya adalah shalat itu lebih sempit, maka lebih terpengaruh oleh perbedaan Menggantungkan Batalnya Sholat dengan Sesuatu yang Terjadi Menggantungkan batalnya shalat dengan sesuatu yang terjadi di dalamnya atau mungkin terjadi dan tidak terjadi di dalam shalat. Misalnya berniat bila Zaid datang, maka aku membatalkan shalat atau niat sejenisnya. Maka shalat batal Bimbang Apakah Akan Membatalkan Sholat atau Tidak Perkara berikutnya, bimbang apakah akan membatalkan shalat atau tidak. Misalnya saat shalat tiba-tiba ada keperluan, lalu bimbang apakah akan menghentikan shalat atau meneruskannya. Maka shalat batal seketika. Yang dimaksudkan bimbang adalah ragu-ragu yang berlawanan dengan Bimbang Mengenai Hal yang Diwajibkan dalam NiatPerkara kesepuluh yaitu bimbang mengenai hal yang diwajibkan dalam niat. Misalnya bimbang apakah yang diniatkan sholat Zuhur atau Ashar. Atau bimbang mengenai sebagian hal yang diwajibkan dalam Takbiratul Ihram. Misalnya bimbang apakah dia Takbiratul Ihram saat menghadap kiblat ataukah setelah berdiri?Bimbang mengenai syarat shalat juga membatalkan shalat, misalnya thaharah. Bimbang di atas membatalkan shalat bila waktunya lama menurut adat, yaitu waktu untuk membaca atau waktunya tidak lama, namun dia melakukan rukun fi’li atau gauli. Dengan demikian dapat diketahui, bila waktunya bimbang tidak lama dan tidak melakukan rukun sama sekali, yakni dia ingat segera, maka bimbang tidak apa-apa. 11. Memutuskan Rukun Fi'li Demi SunnahMemutuskan rukun fi'li demi sunnah. Misalnya, orang yang berdiri dari sujud kedua karena lupa tahiyat awal, kemudian dia kembali duduk untuk membaca tahiyat awal setelah dia bangkit dan bisa disebut berdiri. Hal ini membatalkan sholat jika dia tahu bahwa kembali itu haram dan sengaja. Maka shalatnya batal karena dia menambah duduk tanpa alasan. Lain halnya memutuskan rukun gauli demi sunat, misalnya memutuskan Al-Fatihah demi membaca ta'awwudz atau Iftitah, maka tidak haram dan hanya makruh. Apabila kembali karena lupa bahwa dia sedang shalat atau lupa haramnya kembali duduk, maka tidak batal shalatnya. Namun dia harus kembali berdiri segera bila ingat dan disunnahkan Sujud Sahwi karena hal itu membatalkan shalat bila disengaja. Demikian juga shalatnya tidak batal bila dia tidak tahu haramnya hal tersebut menurut pendapat yang rajih meskipun dia berbaur dengan ulama. Sebab masalah ini termasuk hal yang samar bagi orang awam. Bila seseorang lupa Qunut, lalu ingat saat sujud, maka batal shalatnya bila dia kembali berdiri untuk qunut. Apabila kembali qunut sebelum sempurna sujudnya, yaitu belum sempurna meletakkan ke tujuh anggota badan sujud, maka shalatnya tidak batal, sebab dia belum melakukan fardlu. 12. Tetap Melakukan Rukun Bila Yakin Belum MelakukannyaPerkara berikutnya yaitu tetap melakukan rukun bila yakin belum melakukan rukun sebelumnya atau bimbang apakah rukun itu telah dilakukan atau belum. Dengan syarat waktunya lama menurut adat, yaitu minimal thumakninah. Dia harus kembali untuk melakukan rukun yang dia yakini belum dilakukannya, terkecuali bila dia makmum yang tidak berniat mufaragah keluar dari jamaah, maka dia harus menambahkan satu rakaat setelah imamnya salam. Dia tidak boleh kembali untuk melakukan rukun tersebut, sebab dia harus mengikuti imamnya. Namun apabila yang belum dilakukan itu satu sujud atau thumakninahnya dari rakaat terakhir, sedangkan dia tasyahud bersama imamnya, maka dia harus kembali sujud sebagaimana dikutip Ahmad Al-Maihid dari hukum di atas harus diketahui oleh setiap muslim dan harus dipelajarinya, meskipun dengan bepergian ke negeri yang jauh. Allah berfirman وَمَا كَانَ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ لِيَنۡفِرُوۡا كَآفَّةً‌ ؕ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِنۡ كُلِّ فِرۡقَةٍ مِّنۡهُمۡ طَآٮِٕفَةٌ لِّيَـتَفَقَّهُوۡا فِى الدِّيۡنِ وَ لِيُنۡذِرُوۡا قَوۡمَهُمۡ اِذَا رَجَعُوۡۤا اِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُوۡنَArtinya "Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi ke medan perang. Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya." QS. At-Taubah Ayat 122Demikian hal-hal yang membatalkan sholat dalam Kitab Sulam Al-Munajat. Semoga kita diberi kemudahan mempelajari syariat dan fiqih sholat. Wallahu A'lam Baca Juga rhs BEBERAPA HUKUM SEPUTAR SUJUD TILAWAH DALAM SHALATOleh Ustadz Kholid Syamhudi, LcSujud Tilâwah merupakan salah satu sujud yang disyariatkan dalam Islam bagi yang membaca ayat-ayat sajdah dan yang mendengarkannya. Kalau kita melihat keadaan orang yang membaca dan mendengar ayat-ayat sajdah maka tidak lepas dari dua keadaan; membaca atau mendengarnya dalam shalat atau diluar beberapa permasalahan terkait sujud tilawah dalam shalat, diantaranyaHukum Imam Membaca Ayat-ayat Sajadah Dalam Shalat Jahriyah. Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapatPertama Pendapat yang menyatakan disyariatkan dan dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajdah dalam shalat, baik shalat wajib maupun shalat nâfilah sunnah agar melakukan sujud tilâwah. Ini pendapat mayoritas Ulama, diantaranya madzhab Hanafiyah[1], Syâfi’iyyah[2], Hanabilah[3], Zhâhiriyah[4] dan riwayat Abdullah bin Wahb dari Mâlik[5].Mereka berargumentasi dengan beberapa dalil, diantaranya 1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الجُمُعَةِ فِي صَلاَةِ الفَجْرِ الم تَنْزِيلُ السَّجْدَةَ، وَهَلْ أَتَى عَلَى الإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِDahulu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di hari Jum’at saat shalat Shubuh membaca surat Sajdah dan al-Insân [HR. Al-Bukhâri no. 891]2. Hadits Abu Raafi’ beliau berkataصَلَّيْتُ مَعَ أَبِى هُرَيْرَةَ الْعَتَمَةَ فَقَرَأَ إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ فَسَجَدَ فَقُلْتُ مَا هَذِهِ قَالَ سَجَدْتُ بِهَا خَلْفَ أَبِى الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ أَزَالُ أَسْجُدُ بِهَا حَتَّى أَلْقَاهُAku shalat Isya’ shalat atamah bersama Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , lalu Beliau Shallallahu alaihi wa sallam membaca “idzas samâ’un syaqqat”, kemudian Beliau Shallallahu alaihi wa sallam sujud. Lalu Abu Rafi’ bertanya pada Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , “Apa ini?” Abu Hurairah Radhiyallahu anhu pun menjawab, “Aku bersujud di belakang Abul Qâsim Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam ketika sampai pada ayat sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rafi’ mengatakan, “Aku tidak pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku menemukannya saat itu.” [HR. Al-Bukhâri no. 768 dan Muslim no. 578]3. Amalan ini sudah ada dari sejumlah ahli fikih dari kalangan Shahabat seperti Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu, Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan Utsmân bin Affân Radhiyallahu anhu dan tidak diketahui ada yang menyelisihi Dimakruhkan membaca ayat-ayat sajadah dalam shalat fardhu, sedangkan dalam shalat nâfilah tidak dimakruhkan. Ini merupakan pendapat imam Mâlik dalam satu riwayat yang menjadi pendapat madzhab ini berargumen dengan dua alasan 1. Apabila tidak sujud maka masuk dalam ancaman yang diisyaratkan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala وَاِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْاٰنُ لَا يَسْجُدُوْنَDan apabila al-Qur’ân dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud, [Al-Insyiqâq/8421]Apabila sujud berarti menambah jumlah sujudnya[6].2. Hal ini mengakibatkan orang yang dibelakang imam bingung dan salah, karena hal ini perkara yang tidak biasa dalam shalat.[7]Pendapat yang Rajih Pendapat yang râjih adalah pendapat mayoritas Ulama karena hadits-hadits yang shahih menunjukkan Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam membaca ayat sajadah dalam shalat dan melakukan sujud tilâwah dalam shalat. Wallâhu a’ Membaca Ayat-ayat Sajdah Dalam Shalat Sirriyah Seperti Shalat Zhuhur dan Shalat Ashar. Pada shalat tersebut, makmum tidak mendengar kalau imam membaca ayat sajadah. Dalam masalah ini para Ulama fikih berbeda pendapat dalam beberapa pendapatPertama Dimakruhkan. Ini merupakan pendapat madzhab Hanafiyah dan satu pendapat dalam madzhab Hanabilah namun dianggap sebagai pendapat madzhab serta pendapat sebagian Ulama madzhab beralasan dengan dua alasan 1. Apabila tidak sujud berarti meninggalkan sunnah dan kalau sujud akan menimbulkan kesalahfahaman pada makmum. Karena bisa jadi mereka menyangka sang imam salah, karena mendahulukan sujud daripada ruku’[8].Alasan ini dibantah dengan menyatakan bahwa meninggalkan amalan sunnah tidak menjadikan membaca ayat sajdah dalam masalah ini dimakruhkan; karena meninggalkan amalan sunnah tidak makruh. Sebab kalau meninggalkan amalan sunnah dihukumi makruh maka kita berpendapat shalat tidak menggunakan sandal hukumnya makruh dan tidak mengangkat tangan dalam takbiratul ihrâm hukumnya makruh serta tidak mengucapkannya secara jahr pada shalat jahriyah adalah makruh[9].2. Apabila sujud berarti menambah jumlah sujud dalam shalat. Alasan ini terbantahkan. Memang benar ada penambahan sujud, namun penambahan seperti itu tidak apa-apa, sebab terbukti Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melakukannya dalam Dimakruhkan dalam shalat fardhu, namun tidak dimakruhkan pada shalat nâfilah sunnah. Inilah pendapat madzhab Mâlikiyah. Mereka beralasan dengan alasan yang sama dengan pendapat yang pertama dalam shalat fardhu dan mengecualikan shalat nâfilah dengan dasar yaitu sujud itu bersifat sunnah dan shalat nafilah itu juga bersifat sunnah sehingga sujud tersebut tidak menjadi ibadah tambahan dalam shalat nâfilah[10]Ketiga Tidak dimakruhkan secara mutlak. inilah pendapat madzhab Syafi’iyah[11] dan satu pendapat dalam madzhab Hanabilah[12] serta pendapat Ibnu Hazm.[13]Mereka berdalil dengan hadits Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu yang berbunyiأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَجَدَ فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ فَرَأَوْا أَنَّهُ قَرَأَ تَنْزِيلَ السَّجْدَةَSesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sujud dalam shalat Zhuhur kemudian bangkit lalu ruku’ lalu para Shahabat melihat Beliau membaca surat as-sajdah [HR. Abu Dawud dan didhaifkan al-Albani dalam al-Misykah no. 1031].Mereka juga berdalil dengan tidak adanya dalil shahih yang menunjukkan sujud itu yang Rajih Pendapat yang rajih menurut penulis adalah pendapat yang ketiga ini, karena tidak ada dalil shahih yang menunjukkan sujud itu makruh, sementara dasar atau alasan pendapat lain dalam menetapkan hukum makruhnya itu lemah. Karena tugas makmum hanya mengikuti imam. Jadi, jika imam melakukan sujud tilâwah, maka makmum hanya ikut saja dan ikut sujud. Alasannya adalah sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُواSesungguhnya imam itu untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam sujud, maka bersujudlah. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]Begitu pula apabila seorang makmum tatkala berada jauh dari imam sehingga tidak bisa mendengar bacaannya atau makmum tersebut adalah seorang yang tuli, maka dia harus tetap sujud karena mengikuti inilah yang lebih tepat. Inilah pendapat yang juga dipilih oleh Ibnu Qudâmah[14].Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat yang membolehkannya dengan menyatakan, “Diperbolehkan imam membaca ayat sajdah dalam shalat siriyah dan sujud sebagaimana dilakukan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam[15].Cara Sujud Tilawah. Tata cara sujud tilawah dapat dijabarkan sebagai berikut 1. Para ulama bersepakat bahwa sujud tilâwah cukup dengan sekali sujud. 2. Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat. 3. Berdasarkan pendapat yang paling kuat, sujud tilâwah tidak disyari’atkan takbîratul ihrâm sebelumnya dan juga tidak disyari’atkan salam Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sujud tilâwah ketika membaca ayat sajdah tidak disyari’atkan takbîratul ihrâm, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah ajaran yang sudah ma’rûf dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , juga dianut oleh para Ulama salaf, dan inilah pendapat para imam yang telah masyhur.”[16]Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t berkata, “Sunnah Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam menunjukkan tidak adanya takbîr dan salam dalam sujud tilâwah kecuali apabila dalam keadaan shalat[17].4. Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud. Umumnya pada Ulama memandang pensyariatan takbir dalam sujud tilâwah apabila sujud tersebut dilakukan dalam shalat, tanpa membedakan antara turun sujud dan bangkit dari sujud. Mereka berdalil dengan hadits dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam إِنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَبِّرُ فِي كُلِّ رَفْعٍ وَخَفْضٍSesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bertakbir dalam setiap naik dan turun. [HR. Al-Bukhâri 1/191]Imam an-Nawawi menukil salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’iyah yang menyatakan bahwa tidak takbir saat naik dan turun dalam sujud tilâwah dan beliau rahimahullah menghukumi pendapat ini lemah dan menyelisihi yang benar[18].Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Telah shahih bahwa Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dari sujud, sehingga sujud tilâwah masuk dalam keumuman ini. Adapun yang dilakukan sebagian imam masjid apabila sujud tilâwah dalam shalat, yaitu bertakbir apabila hendak sujud dan tidak bertakbir ketika bangkit dari sujud, maka ini dibangun diatas pemahaman keliru tanpa ilmu; karena ketika melihat sebagia Ulama memilih dalam sujud tilâwah bertakbir apabila hendak sujud dan tidak bertakbir ketika bangkit, menyangka bahwa itu berlaku dalam shalat dan di luar shalat dan tidak demikian yang benar. Yang benar, apabila melakukan sujud tilâwah dalam shalat maka ia bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit sebagaimana telah lalu.[19]5. Mengangkat tangan dalam takbir tersebut. Dalam masalah disyari’atkan angkat tangan atau tidak ketika hendak sujud, para Ulama berselisih dalam dua pendapatPendapat Pertama Tidak disyariatkan mengangkat tangan. Ini pendapat madzhab Hanafiyah[20], madzhab Mâlikiyah[21], madzhab Syâfiiyah[22] dan satu riwayat dari imam Ahmad dan dirajihkan sebagian ulama Hanabilah.[23]Pendapat ini berdalil dengan hadits Abdullah bin Umar c yang berkataأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَكَانَ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِSesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya sejajar kedua bahunya apabila memulai shalat dan apabila bertakbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ demikian juga mengangkat kedua tangannya, seraya berkata Sami’allahu liman hamidah rabbana wa lakal Hamdu. Beliau tidak melakukan hal itu dalam sujud. [HR al-Bukhari dijelaskan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak mengangkat tangannya dalam sujud dan sujud tilâwah termasuk sujud yang pernah Beliau lakukan dalam ini didukung dengan qiyâs analogi kepada sujud dalam shalat yang tanpa mengangkat kedua tangannya[24].Pendapat Kedua Disunnahkan mengangkat tangan. Inilah satu riwayat dari imam Ahmad dan menjadi pendapat madzhabnya[25]. Pendapat ini berdalil dengan hadits Wa’il bin Hujur Radhiyallahu anhu أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ يُكَبِّرُ إِذَا خَفَضَ، وَإِذَا رَفَعَ، وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ عِنْدَ التَّكْبِيرِ، وَيُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِBeliau shalat bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , Beliau pun bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dan beliau Shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika bertakbi dan salam kekanan dan kekiri.” [HR. Ahmad dalam Musnad 4/316, Ad Darimi dalam sunannya 1/285, ath Thayâlisiy dalam Musnadnya no. 1805. dan dinilai Hasan oleh al-Albani dalam al-Irwâ no. 641]Kemudian Imam Ahmad mengomentarinya dengan menyatakan Ini sujud tilawah masuk dalam ini semua[26].Pendapat yang rajih Pendapat pertama tampak lebih kuat karena qiyâs yang mereka sampaikan shahih. Sedangkan hadits Wail bin Hujur Radhiyallahu anhu tidaklah menunjukkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sujud dengan mengangkat tangannya dalam takbir sujud. Apalagi adanya riwayat ibnu Umar Radhiyallahu anhu yang jelas meniadakan angkat tangan dalam Umumnya Ulama mensunahkan membaca dalam sujud tilâwah bacaan yang sudah ada dari Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam, diantaranya A. Bacaan tasbih dan doa yang ada dalam sujud shalat seperti Membacaسُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَىMaha Suci Allâh Yang Maha Tinggi,Seperti yang diriwayatkan oleh Hudzaifah Radhiyallahu anhu , beliau menceritakan tata cara shalat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan ketika sujud Beliau Shallallahu alaihi wa sallam membacaسُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَىMaha Suci Allah Yang Maha Tinggi [HR. Muslim no. 772].Juga karena hadits Uqbah bin Amir al-Juhani Radhiyallahu anhu yang berkataفَلَمَّا نَزَلَتْ {سَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى} [الأعلى 1] قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - “اجْعَلُوهَا فِي سُجُودِكُمْ”Ketika turun firman Allâh surat al-A’la ayat ke-1 maka Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada kami Jadikanlah ini dalam sujud-sujud kalian. [HR Ibnu Mâjah dalam sunannya no 887. Hadits ini dilemahkan al-Albani dalam Dhaif Sunan Ibnu Mâjah dan di hasankan oleh Syu’aib al-Arnauth dalam ta’liqnya terhadap Sunan Ibnu Mâjah].Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan Hadits ini mencakup sujud dalam shalat dan sujud tilâwah Syarhu mumti’ .Membacaسُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِىMaha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah Ibnu Utsaimin rahimahullah memberikan alasan dengan dua dalil Pertama Firman Allâh Azza wa Jalla اِنَّمَا يُؤْمِنُ بِاٰيٰتِنَا الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِّرُوْا بِهَا خَرُّوْا سُجَّدًا وَّسَبَّحُوْا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ Sesungguhnya orang yang benar benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong. [as-Sajdah/32 15].Kedua Hadits Aisyah Radhiyallahu anha , beliau berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujudسُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيMaha Suci Engkau, Ya Allâh, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku [HR. Al-Bukhâri no. 817 dan Muslim no. 484 Syarhu Mumti’].B. Bacaan yang diriwayatkan oleh ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu anha bahwa Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca dalam sujud tilawah di malam hari, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam membaca dalam sujud sajdahnya beberapa kali سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allâh Sebaik-baik Pencipta. [HR. Abu Dawud no. 1414 dan shahihkan al-Albani rahimahullah]C. Bacaan yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu anhu , beliau berkata bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika sujud membaca اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ فَأَحْسَنَ صُوَرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَYa Allâh! Kepada-Mu aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allâh Sebaik-baik Pencipta. [HR. Muslim no. 771]D. Bacaan yang diriwayatkan Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma. Beliau berkata, “Ada seseorang yang mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , lalu ia berkata, “Wahai Rasûlullâh! Aku bermimpi shalat di belakang sebuah pohon. Tatkala aku bersujud, pohon tersebut juga ikut bersujud. Tatkala itu aku mendengar pohon tersebut mengucapkanاللَّهُمَّ اكْتُبْ لِي بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا، وَضَعْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا، وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا، وَتَقَبَّلْهَا مِنِّي كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ، Ya Allah! Tetapkanlah pahala untukku disisi-Mu dengan bacaan ini dan gugurkanlah dosa-dosaku! Jadikanlah dia sebagai tabunganku dan terimalah dia sebagaimana Engkau menerimanya dari hamba-Mu DaudIbnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata Nabi Shallallahu alaihi wa sallam membaca ayat sajdah kemudian sujud. Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu pun berkata Lalu aku mendengar beliau membaca seperti yang orang tersebut sampaikan dari perkataan pohon itu. [HR. Tirmidzi no. 576 dan dihasankan al-Albani].Demikian beberapa masalah berkenaan dengan sujud tilawah dalam sholat. Semoga dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVIII/1436H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Lihat Fathul Qadîr 2/14 [2] Lihat al-Majmû 4/58 [3] Lihat al-Mughni 2/371 [4] Lihat al-Muhalla 5/157 [5] Lihat al-Muntaqâ 1/350 [6] Lihat Hasyiyah ad-Dûsuqi, 1/310 [7] Llihat al-Muntaqa 1/350 [8] Lihat al-Muntaqa, 1/350 dan al-Mughni, 2/371 [9] Lihat asy-Syarhu al-Mumti’ 4/148 [10] Lihat Hasyiyah ad-Dasuqi 1/310 [11] Lihat al-Majmû 2/95 [12] Lihat al-Mughni 2/371 [13] Lihat al-Muhalla 5/157 [14] Lihat al-Mughni, 3/104 [15] Syarhu Mumti’ 4/103 [16] Majmû’ al-Fatâwa, 23/165 [17] Syarhu Mumti’ 4/100 [18] Lihat al-Majmu’ 4/63 [19] Syarhu Mumti’ 4/100 [20] Lihat al-Banâyah 2/734 [21] Lihat asy-Syarhul ash-Shaghîr 1/569 [22] Lihat Mughnil Muhtâj 1/217 [23] Lihat al-Mughni 2/361 [24] Lihat Mughnil Muhtâj 1/217 [25] Lihat al-Mughni 2/361 [26] Lihat al-Mughni 2/361 Home /A9. Fiqih Ibadah3 Shalat/Beberapa Hukum Seputar Sujud...

takbiratul ihram dalam sujud tilawah termasuk